A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok
yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Selama
berabad-abad paradigma ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian
mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen,
dan Islam, atau mungkin beberapa agama lainnya.
Propaganda mengenai ketidakadilan dan ketidaksetaraan jenis
kelamin sosial (gender), merupakan wacana umum di kalangan akademisi,
disebabkan giatnya para aktivis feminimisme dalam mengkampanyekan hal tersebut.
Kegiatan kampanye kesetaraan gender ini, dalam lingkup para penganut agama
Islam menjadi sebuah dualisme perspektif karena masing-masing memiliki landasan
ayat al-Qur'an yang diinterpretasi menurut pandangan dan hasil pengetahuan
masing-masing.
Melihat fakta empiris, isu kesetaraan gender yang
mulai populer tersebut disebabkan banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi
antara kaum lelaki dan wanita yang terjadi di masyarakat. Salah satu topik inti
dalam pembahasan gender adalah mengenai kelayakan wanita sebagai pemimpin.
Dalil yang diperdebatkan salah satunya adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’
ayat 34:
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Sebagian pendapat menyatakan bahwa kalimat qawwamuun
tidak berarti penguasa atau majikan, sehingga perempuan memiliki hak yang sama
dengan secara skill. Pendapat lainnya juga memberikan interpretasi bahwa
kalimat qawwamuun berarti pemimpin, sehingga menurut sebagian ulama fiqh wanita
menurut syara’ tidak dapat dijadikan sebagai pemimpin.
Adanya dualisme pendapat inilah yang mendasari kajian
dalam makalah ini, dengan mencoba menganalisa pendapat dari dua belah pihak
secara subjektif antara pandangan aktivis feminimisme dan pandangan para pakar
yang kontra terhadap ideologi para aktivis feminimisme. Hal ini dilakukan untuk
memberikan kontibusi kajian ilmiah dan membuka pemahaman terhadap bentuk
perspektif kedua belah pihak mengenai kepemimpinan wanita.
2.
Rumusan Masalah dan Tujuan
Penulisan
Sebagai fokus konstruksi pembahasan makalah ini adalah
bagaimana uraian pendapat dari aktivis yang memperjuangkan penyetaraan hak
wanita mengenai kepemimpinan wanita dan uraian pendapat yang kontra terhadap
ideologi kaum feminis tersebut? Sehingga makalah ini akan membahas mengenai pandangan
feminimisme terhadap kepemimpinan wanita dan pendapat yang kontra terhadap kepemimpinan
wanita.
3.
Metodologi Pembahasan
Makalah ini diuraikan dengan menggunakan metodologi
studi komparasi-deskriptif dengan maksud memberikan kesimpulan secara subjektif
terhadap pandangan kedua belah pihak yang bertentangan dengan tujuan memberikan
analisa literatur terhadap temuan mengenai pembahasan yang telah ditentukan.
B. PEMBAHASAN
1.
Kajian Definisi Gender
Secara
etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’
(Echols dan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary,
Edisi 1984 ‘gender’ diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise
Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990, kata gender diartikan
sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain
yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis
kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan).
Secara
terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson
mengartikan ‘gender’ sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Elaine
Showalter mengartikan ‘gender’ lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Dia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu
(Nasaruddin Umar, 1999: 33-34).
Ada
kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan
masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan
mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender. (Mansour Fakih,
1997: 4)
Istilah
gender digunakan berbeda dengan jenis kelamin, Gender digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
sosial-budaya. Sementara jenis kelamin digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih
banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non-biologis lainnya. (Nasaruddin Umar, 1999: 35)
Dari
beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial
dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat
(social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
2.
Epistimologi Kesetaraan
Gender dalam Perspektif Islam
Sebelum Islam datang, posisi perempuan berada pada
strata sosial yang tidak imbang dibandingkan dengan strata sosial laki-laki.
Selama berabad-abad kaum perempuan terus menerus berada di bawah dominasi kaum
laki-laki. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk memuaskan nafsu para
raja atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat
diperjualbelikan. Dalam kehidupan rumah tangga, kedudukan perempuan sepenuhnya
berada pada kekuasaan suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang
semestinya. Kondisi perempuan seperti ini hampir terjadi di semua bangsa
terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa Yunani, Romawi, Cina, India,
Persia, dan lain sebagainya (al-Barik, 1997: 5-8 dan N.M. Shaikh, 1991: 2-5).
Di kalangan bangsa Arab sendiri – sebelum Islam datang
– kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan
pada masa Jahiliah dengan panjang lebar seperti berikut: (1) perempuan
terhalang dari hak mewarisi; (2) suami berhak menceraikan isterinya seenaknya
dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri
sama sekali pasif dalam masalah ini; (3) tidak ada batasan dalam masalah jumlah
isteri; (4) isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5) menanam
hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat
Arab Jahiliah; (6) dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah
menghalalkan perkawinan istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan
isterinya yang telah bersih kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah
yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya, dan akhlaknya supaya
isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah itu ia kembali kepada
suaminya lagi); dan (7) adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang
berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak
gadis dewasa yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan
itu sehingga mahar bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan
mahar bagi si anak perempuan yang lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah
berpindah tangan kepada ayah dari anak perempuan yang lain, dan sebaliknya) di
antara mereka (al-Kurdi, 1995: 23-24).
Pada perkembangan selanjutnya, lahirnya politik
demokrasi serta munculnya sistem ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat
memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum perempuan tidak mau
lagi ditindas sebagaimana yang mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal.
Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka
menuntut hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan
mereka ini dikenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran
yang berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada
usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut (Nurul Agustina, Jurnal Ulumul
Qur’an (Edisi Khusus), No. 5 dan 6, 1994: 63).
Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa
menerima kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang
diberdayakannya wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam lingkup sosial politik.
Umumnya ulama klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai
pemimpin pada semua lini. Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita
menjadi hakim dalam menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang
menyangkut harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar
mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam segala perkara (M. Atho Mudzhar, 1999:
52-53).
Diskriminasi yang terjadi pada konteks sejarah Islam,
merupakan salah satu alasan utama keinginan dalam penyetaraan derajat wanita dan
menghindari prinsip ptriarkhi yang menganggap lelaki sebagai superior atau
berkuasa terhadap segala hal.
Pada tataran normatif, umumnya
ulama sepakat menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi
sebagai manusia ciptaan, sekaligus hamba Allah swt (QS. al-Hujurat,
[49]:13; an-Nisa’,
[4]:1; al-Isra,[17]:70).
Sebagai hamba Allah, perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan
ibadah, sama dengan laki-laki (QS. Ali Imran,
[3]:3). Perempuan diakui memiliki sejumlah hak dan kewajiban (QS. an-Nisa’,
[4]:32), diantaranya hak untuk menikmati hasil usahanya (QS. an-Nisa’,
[4]:124; Ali Imran,
[3]:195), hak untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan
takwa, serta kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar (QS.
at-Taubah, [9]:71) menuju terciptanya masyarakat damai
dan sejahtera baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Tetapi, ketika pola relasi perempuan dan laki-laki itu ditarik ke dalam tataran
operasional yang bersifat praktis sehingga memunculkan perdebatan yang panjang
sepanjang sejarah kemanusiaan itu sendiri. Salah satu permasalahan yang menjadi
perdebatan adalah problema wanita yang menjadi pemimpin.
3.
Pro-Kontra Kepemimpinan
Wanita dalam Islam
Perbincangan mengenai kepemimpinan perempuan
dalam wacana Islam melahirkan dua aliran besar. Pertama,
aliran yang mengklaim bahwa Islam tidak mengakui hak perempuan
menjadi pemimpin, baik dalam ranah domestik, terlebih dalam ranak publik. Kedua,
aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan sama seperti
yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam mengakui
kepemimpinan perempuan, termasuk menjadi kepala negara.
Ada empat argumentasi yang paling sering
dikemukakan oleh aliran yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan. Pertama,
argumentasi dari Al-Qur’an, yaitu:
1)
Surah al-Ahzab, [33]:33
yang menegaskan bahwa tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah.
2)
Surah an-Nisa’, [4]:34
yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan, dan berdasarkan
ayat itu Rasyid Ridha menganalogikan kekuasaan seperti raja terhadap rakyatnya.
3)
Surah
al-Baqarah,[2]:228 yang mengedepankan kelebihan laki-laki terhadap perempuan.
Kedua, argumentasi
dari hadis, di antaranya:
1) Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang mengatakan: lan
yuflaha qaum wallauw amrahum imra’at (tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan). Hadis ini amat poluler dalam Kongres Umat
Islam Indonesia, dan merupakan dalil yang digunakan untuk menangkis pendapat
yang memperbolehkan perempuan menjadi presiden.
2)
Hadis lain yang
dijadikan legitimatif berbunyi : al-nisa’u naqishatun aqlin wa dinin
(kaum perempuan itu lemah agama dan akalnya).
Ketiga,
argumentasi berupa qiyas (analogi),
yaitu: sebagian ulama menyatakan tidak boleh perempuan menjadi pemimpin, mengambil
analogi dari tidak bolehnya perempuan menjadi imam shalat atau tidak bolehnya
perempuan pergi sendirian tanpa ditemani mahramnya.
Keempat,
argumentasi berupa ijma (konsensus).
Ijma tersebut diambil berdasarkan pengalaman empiris di dunia Islam, yaitu
sejak masa Rasul dan khulafaur rasyidin serta
generasi sesudahnya, tidak pernah perempuan mendapat tempat dalam bidang
kepemimpinan umat.
Sebagaimana aliran pertama, aliran kedua yang
berpendapat hak perempuan sama dengan laki-laki secara doktrinal juga memiliki
landasan legitimatif dari Al-Qur’an dan hadis. Pertama,
argumentasi dari Al-Qura’an, yaitu:
1)
Surah an-Nisa’, [4]:1
yang menjelaskan bahwa asal penciptaan semua manusia, laki-laki dan perempuan
adalah sama, sehingga tidak boleh ada diskriminasi.
2)
Surah at-Taubah, [9]:71
tentang kewajiban melakukan kerja sama antar laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan.
3)
Surah an-Nisa’, [4]:34
yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan jika memenuhi
persyaratan yang disebutkan, dan kalau tidak berarti perempuan dapat
menggantikan posisi itu.
4)
Surah al-Hujurat,
[49]:13 yang menjelaskan posisi semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah
setara dihadapan Allah dan yang membedakan mereka adalah nilai taqwa.
5)
Surah Al-Isra, [17]:70
yang mengakui perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah sama
dengan laki-laki dan perempuan diakui juga memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
6)
Surah Al-imran, [3]:195
yang mengakui hak perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui
peningkatan ilmu dan taqwa.
7)
Surah at-Taubah, [9]:71
yang menyerukan kepada laki-laki dan perempuan kewajiban untuk melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar.
Kedua,
argumentasi dari hadis, di antaranya yaitu: hadis Nabi saw yang berbunyi : man
lam yahtam bi amr al-muslimin fa laysa minhum (barang
siapa yang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam berarti ia tidak termasuk
golongan mereka). Yang dimaksud dengan amr al-Muslimin disini
mencakup seluruh kepentingan atau urusan umat Islam, termasuk masalah kepentingan
umat.
Ketiga, argumentasi
berupa qiyas (analogi), yaitu :Sebagian ulama yang menyatakan bolehnya
perempuan menjadi pemimpin mengambil mengambil analogi dari Ratu Balqis dan
Ratu Saba yang dipaparkan secara panjang lebar dengan mengedepankan kisah
kesuksesan dan kejayaannya.
Keempat,
hal lain yang dijadikan argumentasi bagi kelompok ini adalah bai’at.
Al-Qur’an menguraikan kisah permintaan para perempuan di zaman Nabi saw untuk
melakukan bai’at (janji
setia) kepada Nabi dan kemudian Allah swt memerintahkan kepada rasul-Nya untuk
menerima bai’at mereka (al-Mumtahanah, [60]:12). Bai’at para perempuan pada
masa-masa awal Islam dijadikan bukti kebebasan untuk menentukan pandangan,
berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk memilih pilihan yang berbeda dengan
pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda
dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri. Fakta sejarah menunjukkan,
delegasi Anshar membai’at Nabi saw, dalam bai’at tersebut tercatat beberapa
perempuan. Mereka bersumpah dalam bai’at itu untuk membela dan melindungi
Islam. Ini menunjukkan adanya kontribusi perempuan dalam kegiatan politik.
Rasulullah saw memperbolehkan perempuan
mewakili kaum Muslim, berbicara mewakili mereka dan memberikan jaminan atas
nama mereka. Hal itu terlihat dalam kasus Ummu Hani. Rasulullah saw telah
menerima perlindungan Ummu Hani terhadap seorang kafir pada hari penaklukkan
kota Makkah. Rasulullah saw bersabda kepadanya: “kami melindungi orang yang
dilindungi Ummu Hani”.
4.
Hasil Analisis Komparatif
Perbandingan argumentasi teologis yang
menjadi ideologi dari kedua aliran tersebut mengenai kepemimpinan wanita pada
akhirnya akan membawa pada kesimpulan bahwa perbedaan sebenarnya terletak pada
penafsiran atau interpretasi. Perlu dipahami, bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
(seperti halnya ayat-ayat pada kitab suci lainnya) lebih banyak menjelaskan
prinsip-prinsip yang bersifat umum. Satu asumsi dasar perlu diperhatikan, yaitu
sebagai suatu teks, Al-Qur’an tidak memiliki satu penafsiran tunggal dan standar
yang dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, ketika seseorang mencari
rujukan terhadap teks-teks agama, sebenarnya melakukan penafsiran atas
teks-teks tersebut. Tafsir atau penafsiran harus dibedakan dari agama, karena
dogma agama telah bersifat mutlak dan berada di dataran yang abstrak, sedangkan
penafsiran terhadap agama bersifat relatif. Hal ini merupakan letak pentingnya
manusia (umat Islam), agar berupaya terus menerus menafsirkan ajaran agamanya
agar senantiasa relevan dengan situasi masyarakat yang dinamis dan senantiasa
berubah.
C. PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari pembahasan yang telah
diuraikan adalah al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam memang bersifat
universal secara redaksional, tetapi memiliki solusi yang bersifat
rekonstruktif dan relevan terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan.
Perdebatan mengenai kesetaraan gender adalah perihal ideologi yang dihasilkan
oleh pemahaman terhadap konstruksi sejarah, serta perbedaan interpretasi redaksi
al-Qur'an hadis atau yang lainnya yang kemudian menjadi dogma sekaligus
ideologi.
Pada akhirnya uraian makalah ini hanya mengarahkan
kepada umat Islam secara umum untuk bisa menjadi makhluk yang dapat memahami
problema bias gender dari dua sisi, sehingga bisa melihat dengan konteks
paradigma tersendiri dan menyimpulkan dengan bijak sebagai seorang muslim yang
ihsan.
DAFTAR REFERENSI
Al-Kurdi,
Ahmad al-Hajji. (1995). Ahkam al-Mar’ah fi al-Fiqh al-Islamiy. Alih
bahasa:
Al-Qur'an al-Karim.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus
Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII.
Kurzman,
Charles (ed.). Liberal Islam : A Sourcebook diterjemahkan oleh Bahrul Ulum
dengan judul : Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
Isu-isu Global. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2001.
M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi
Rangkuman Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam di
Hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tanggal, 15
September 1999.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
Moh. Zuhri
dan Ahmad Qorib. Semarang: Dina Utama. Cet. I.
Nasaruddin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perpektif al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 1999.
Nurul
Agustina, Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus), No. 5 dan 6, 1994.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz V,
Kairo: Dar al-Manar, 1367 H.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa share ya... :D