Selasa, 08 Maret 2016

Makalah MMQ: DISKURSUS KOMPARASI PRO-KONTRA KESETARAAN GENDER DAN KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Selama berabad-abad paradigma ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin beberapa agama lainnya.
Propaganda mengenai ketidakadilan dan ketidaksetaraan jenis kelamin sosial (gender), merupakan wacana umum di kalangan akademisi, disebabkan giatnya para aktivis feminimisme dalam mengkampanyekan hal tersebut. Kegiatan kampanye kesetaraan gender ini, dalam lingkup para penganut agama Islam menjadi sebuah dualisme perspektif karena masing-masing memiliki landasan ayat al-Qur'an yang diinterpretasi menurut pandangan dan hasil pengetahuan masing-masing.
Melihat fakta empiris, isu kesetaraan gender yang mulai populer tersebut disebabkan banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi antara kaum lelaki dan wanita yang terjadi di masyarakat. Salah satu topik inti dalam pembahasan gender adalah mengenai kelayakan wanita sebagai pemimpin. Dalil yang diperdebatkan salah satunya adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 34:

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Sebagian pendapat menyatakan bahwa kalimat qawwamuun tidak berarti penguasa atau majikan, sehingga perempuan memiliki hak yang sama dengan secara skill. Pendapat lainnya juga memberikan interpretasi bahwa kalimat qawwamuun berarti pemimpin, sehingga menurut sebagian ulama fiqh wanita menurut syara’ tidak dapat dijadikan sebagai pemimpin.
Adanya dualisme pendapat inilah yang mendasari kajian dalam makalah ini, dengan mencoba menganalisa pendapat dari dua belah pihak secara subjektif antara pandangan aktivis feminimisme dan pandangan para pakar yang kontra terhadap ideologi para aktivis feminimisme. Hal ini dilakukan untuk memberikan kontibusi kajian ilmiah dan membuka pemahaman terhadap bentuk perspektif kedua belah pihak mengenai kepemimpinan wanita.

2.      Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Sebagai fokus konstruksi pembahasan makalah ini adalah bagaimana uraian pendapat dari aktivis yang memperjuangkan penyetaraan hak wanita mengenai kepemimpinan wanita dan uraian pendapat yang kontra terhadap ideologi kaum feminis tersebut? Sehingga makalah ini akan membahas mengenai pandangan feminimisme terhadap kepemimpinan wanita dan pendapat yang kontra terhadap kepemimpinan wanita.

3.      Metodologi Pembahasan
Makalah ini diuraikan dengan menggunakan metodologi studi komparasi-deskriptif dengan maksud memberikan kesimpulan secara subjektif terhadap pandangan kedua belah pihak yang bertentangan dengan tujuan memberikan analisa literatur terhadap temuan mengenai pembahasan yang telah ditentukan.

B.     PEMBAHASAN
1.      Kajian Definisi Gender
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (Echols dan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984 ‘gender’ diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990, kata gender diartikan sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan).
Secara terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan ‘gender’ sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Dia lebih menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 33-34).
Ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender. (Mansour Fakih, 1997: 4)
Istilah gender digunakan berbeda dengan jenis kelamin, Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara jenis kelamin digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya. (Nasaruddin Umar, 1999: 35)

Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan  perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

2.      Epistimologi Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam
Sebelum Islam datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang tidak imbang dibandingkan dengan strata sosial laki-laki. Selama berabad-abad kaum perempuan terus menerus berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk memuaskan nafsu para raja atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat diperjualbelikan. Dalam kehidupan rumah tangga, kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada kekuasaan suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang semestinya. Kondisi perempuan seperti ini hampir terjadi di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa Yunani, Romawi, Cina, India, Persia, dan lain sebagainya (al-Barik, 1997: 5-8 dan N.M. Shaikh, 1991: 2-5).
Di kalangan bangsa Arab sendiri – sebelum Islam datang – kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan pada masa Jahiliah dengan panjang lebar seperti berikut: (1) perempuan terhalang dari hak mewarisi; (2) suami berhak menceraikan isterinya seenaknya dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri sama sekali pasif dalam masalah ini; (3) tidak ada batasan dalam masalah jumlah isteri; (4) isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5) menanam hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah; (6) dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah itu ia kembali kepada suaminya lagi); dan (7) adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan yang lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari anak perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka (al-Kurdi, 1995: 23-24).
Pada perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya sistem ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal. Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka menuntut hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini dikenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut (Nurul Agustina, Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus), No. 5 dan 6, 1994: 63).
Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam lingkup sosial politik. Umumnya ulama klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua lini. Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim dalam menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam segala perkara (M. Atho Mudzhar, 1999: 52-53).
Diskriminasi yang terjadi pada konteks sejarah Islam, merupakan salah satu alasan utama keinginan dalam penyetaraan derajat wanita dan menghindari prinsip ptriarkhi yang menganggap lelaki sebagai superior atau berkuasa terhadap segala hal.
Pada tataran normatif, umumnya ulama sepakat menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia ciptaan, sekaligus hamba Allah swt (QS. al-Hujurat, [49]:13; an-Nisa’, [4]:1; al-Isra,[17]:70). Sebagai hamba Allah, perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah, sama dengan laki-laki (QS. Ali Imran, [3]:3). Perempuan diakui memiliki sejumlah hak dan kewajiban (QS. an-Nisa’, [4]:32), diantaranya hak untuk menikmati hasil usahanya (QS. an-Nisa’, [4]:124; Ali Imran, [3]:195), hak untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar (QS. at-Taubah, [9]:71) menuju terciptanya masyarakat damai dan sejahtera baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Tetapi, ketika pola relasi perempuan dan laki-laki itu ditarik ke dalam tataran operasional yang bersifat praktis sehingga memunculkan perdebatan yang panjang sepanjang sejarah kemanusiaan itu sendiri. Salah satu permasalahan yang menjadi perdebatan adalah problema wanita yang menjadi pemimpin.

3.      Pro-Kontra Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Perbincangan mengenai kepemimpinan perempuan dalam wacana Islam melahirkan dua aliran besar. Pertama, aliran yang mengklaim bahwa Islam tidak mengakui hak perempuan menjadi pemimpin, baik dalam ranah domestik, terlebih dalam ranak publik. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam mengakui kepemimpinan perempuan, termasuk menjadi kepala negara.
Ada empat argumentasi yang paling sering dikemukakan oleh aliran yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan. Pertama, argumentasi dari Al-Qur’an, yaitu:
1)      Surah al-Ahzab, [33]:33 yang menegaskan bahwa tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah.
2)      Surah an-Nisa’, [4]:34 yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan, dan berdasarkan ayat itu Rasyid Ridha menganalogikan kekuasaan seperti raja terhadap rakyatnya.
3)      Surah al-Baqarah,[2]:228 yang mengedepankan kelebihan laki-laki terhadap perempuan.
Kedua, argumentasi dari hadis, di antaranya:
1)      Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang mengatakan: lan yuflaha qaum wallauw amrahum imra’at (tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Hadis ini amat poluler dalam Kongres Umat Islam Indonesia, dan merupakan dalil yang digunakan untuk menangkis pendapat yang memperbolehkan perempuan menjadi presiden.
2)      Hadis lain yang dijadikan legitimatif berbunyi : al-nisa’u naqishatun aqlin wa dinin (kaum perempuan itu lemah agama dan akalnya).
Ketiga, argumentasi berupa qiyas (analogi), yaitu: sebagian ulama menyatakan tidak boleh perempuan menjadi pemimpin, mengambil analogi dari tidak bolehnya perempuan menjadi imam shalat atau tidak bolehnya perempuan pergi sendirian tanpa ditemani mahramnya.
Keempat, argumentasi berupa ijma (konsensus). Ijma tersebut diambil berdasarkan pengalaman empiris di dunia Islam, yaitu sejak masa Rasul dan khulafaur rasyidin serta generasi sesudahnya, tidak pernah perempuan mendapat tempat dalam bidang kepemimpinan umat.
Sebagaimana aliran pertama, aliran kedua yang berpendapat hak perempuan sama dengan laki-laki secara doktrinal juga memiliki landasan legitimatif dari Al-Qur’an dan hadis. Pertama, argumentasi dari Al-Qura’an, yaitu:
1)      Surah an-Nisa’, [4]:1 yang menjelaskan bahwa asal penciptaan semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga tidak boleh ada diskriminasi.
2)      Surah at-Taubah, [9]:71 tentang kewajiban melakukan kerja sama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.
3)      Surah an-Nisa’, [4]:34 yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan jika memenuhi persyaratan yang disebutkan, dan kalau tidak berarti perempuan dapat menggantikan posisi itu.
4)      Surah al-Hujurat, [49]:13 yang menjelaskan posisi semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah setara dihadapan Allah dan yang membedakan mereka adalah nilai taqwa.
5)      Surah Al-Isra, [17]:70 yang mengakui perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki dan perempuan diakui juga memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
6)      Surah Al-imran, [3]:195 yang mengakui hak perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan taqwa.
7)      Surah at-Taubah, [9]:71 yang menyerukan kepada laki-laki dan perempuan kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Kedua, argumentasi dari hadis, di antaranya yaitu: hadis Nabi saw yang berbunyi : man lam yahtam bi amr al-muslimin fa laysa minhum (barang siapa yang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam berarti ia tidak termasuk golongan mereka). Yang dimaksud dengan amr al-Muslimin disini mencakup seluruh kepentingan atau urusan umat Islam, termasuk masalah kepentingan umat.
Ketiga, argumentasi berupa qiyas (analogi), yaitu :Sebagian ulama yang menyatakan bolehnya perempuan menjadi pemimpin mengambil mengambil analogi dari Ratu Balqis dan Ratu Saba yang dipaparkan secara panjang lebar dengan mengedepankan kisah kesuksesan dan kejayaannya.
Keempat, hal lain yang dijadikan argumentasi bagi kelompok ini adalah bai’at. Al-Qur’an menguraikan kisah permintaan para perempuan di zaman Nabi saw untuk melakukan bai’at (janji setia) kepada Nabi dan kemudian Allah swt memerintahkan kepada rasul-Nya untuk menerima bai’at mereka (al-Mumtahanah, [60]:12). Bai’at para perempuan pada masa-masa awal Islam dijadikan bukti kebebasan untuk menentukan pandangan, berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk memilih pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri. Fakta sejarah menunjukkan, delegasi Anshar membai’at Nabi saw, dalam bai’at tersebut tercatat beberapa perempuan. Mereka bersumpah dalam bai’at itu untuk membela dan melindungi Islam. Ini menunjukkan adanya kontribusi perempuan dalam kegiatan politik.
Rasulullah saw memperbolehkan perempuan mewakili kaum Muslim, berbicara mewakili mereka dan memberikan jaminan atas nama mereka. Hal itu terlihat dalam kasus Ummu Hani. Rasulullah saw telah menerima perlindungan Ummu Hani terhadap seorang kafir pada hari penaklukkan kota Makkah. Rasulullah saw bersabda kepadanya: “kami melindungi orang yang dilindungi Ummu Hani”.
4.      Hasil Analisis Komparatif
Perbandingan argumentasi teologis yang menjadi ideologi dari kedua aliran tersebut mengenai kepemimpinan wanita pada akhirnya akan membawa pada kesimpulan bahwa perbedaan sebenarnya terletak pada penafsiran atau interpretasi. Perlu dipahami, bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an (seperti halnya ayat-ayat pada kitab suci lainnya) lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip yang bersifat umum. Satu asumsi dasar perlu diperhatikan, yaitu sebagai suatu teks, Al-Qur’an tidak memiliki satu penafsiran tunggal dan standar yang dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, ketika seseorang mencari rujukan terhadap teks-teks agama, sebenarnya melakukan penafsiran atas teks-teks tersebut. Tafsir atau penafsiran harus dibedakan dari agama, karena dogma agama telah bersifat mutlak dan berada di dataran yang abstrak, sedangkan penafsiran terhadap agama bersifat relatif. Hal ini merupakan letak pentingnya manusia (umat Islam), agar berupaya terus menerus menafsirkan ajaran agamanya agar senantiasa relevan dengan situasi masyarakat yang dinamis dan senantiasa berubah.

C.     PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan adalah al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam memang bersifat universal secara redaksional, tetapi memiliki solusi yang bersifat rekonstruktif dan relevan terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan. Perdebatan mengenai kesetaraan gender adalah perihal ideologi yang dihasilkan oleh pemahaman terhadap konstruksi sejarah, serta perbedaan interpretasi redaksi al-Qur'an hadis atau yang lainnya yang kemudian menjadi dogma sekaligus ideologi.
Pada akhirnya uraian makalah ini hanya mengarahkan kepada umat Islam secara umum untuk bisa menjadi makhluk yang dapat memahami problema bias gender dari dua sisi, sehingga bisa melihat dengan konteks paradigma tersendiri dan menyimpulkan dengan bijak sebagai seorang muslim yang ihsan.

DAFTAR REFERENSI
Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. (1995). Ahkam al-Mar’ah fi al-Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa:
Al-Qur'an al-Karim.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII.
Kurzman, Charles (ed.). Liberal Islam : A Sourcebook diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dengan judul : Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2001.
M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi Rangkuman Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam di Hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tanggal, 15 September 1999.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib. Semarang: Dina Utama. Cet. I.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perpektif al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 1999.
Nurul Agustina, Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus), No. 5 dan 6, 1994.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz V, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa share ya... :D