Selasa, 04 Desember 2012

ILMU KALAM: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF)


BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, dan mereka lebih mengutamakan akal.[1]
Dari sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [2], dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[3] Terkait dengan masalah tersebut, dan karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF).
B.     Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2.      Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3.      Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C.    Tujuan  Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2.      Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3.      Nilai dari aliran salaf dan khalaf.



[1]Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.

[2]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.

[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,[1] dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1.      Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.[2]
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.[3] Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[4]
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau penyerupaan dengan makhluk.[5]
2.      Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[6] Aliran khalaf terdiri dari dua versi, yaitu sebagai berikut:[7]
a.       Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal, paham ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b.      Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham ini identik dipegang oleh Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas disebut dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[8] Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 Hijriah.[9] Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[10]
B.     Perbedaan antara Salaf dan Khalaf
Pokok utama yang menjadi perbedaan antara aliran salaf dan aliran khalaf adalah permasalahan interpretasi ayat Alquran ataupun Hadis nabi yang mutasyabihat atau yang mengarah kepada penyerupaan (tasybih), karena aliran khalaf menganggap pantas untuk diinterpretasi ke arti yang lebih layak dengan kesucian Allah, sedangkan menurut aliran salaf hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang (bid’ah), karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya maupun para tabi’in yang berpegang teguh dengan ajaran nabi Muhammad SAW.[11]
Kaum salaf berpendapat bahwa harus mengimani ayat Alquran atau Hadis yang berkaitan dengan sifat Allah dengan apa adanya, adapun penjelasan tentang tangan, wajah, bertempat, dan lain-lain dari Allah itu menurut mereka hanya Allah yang tahu penjelasannya, karena hal tersebut tidak dapat diketahui oleh manusia, dan umat Islam dilarang untuk berpikir tentang Allah.[12]
Sedangkan kaum khalaf berpendapat bahwa boleh memahami ayat Alquran atau Hadis yang menjelaskan masalah sifat Allah, karena tidak harus secara literal atau tekstual (secara harfiah), karena ayat atau Hadis tersebut adalah majaz atau berupa kiasan sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan bukan bermaksud untuk menyamakan Allah, seperti mereka menafsirkan Wajah Allah dengan Dzat-Nya.[13]
Aliran salaf juga ada 2 jenis, ada yang radikal dan ada yang moderat, seperti imam Malik, imam Syafi’i, imam Hanafi, serta imam al-Tsauri yang termasuk dari aliran salaf moderat, dan imam Ahmad bin Hanbal merupakan tokoh aliran salaf yang radikal selain imam Daud Zahiri dan imam Ibn Hazm, aliran salaf radikal dikembangkan oleh imam Ibn Taimiyah serta kawan-kawannya.[14]
Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis, pandangannya dianggap oleh imam Ahmad bin Hanbal serta al-Khatib Ibn al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (anthropomorpisme) atau menyerupakan Allah dengan makhluk, oleh karenanya al-Khatib Ibn al-Jauzi bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai seorang salaf perlu ditinjau kembali.[15] Watt mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.[16]
C.    Nilai dari aliran Salaf dan Khalaf
Nilai-nilai yang dapat diambil dari aliran salaf dan khalaf adalah aliran salaf yang mempertahankan aqidah murni, dengan menjaga agar tidak melakukan hal yang dilarang karena aliran salaf tidak mau menafsirkan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang membahas masalah mutasyabihat, karena menurut mereka menafsirkan hal tersebut adalah bid’ah (hal yang dilarang ).Sedangkan aliran khalaf menganggap bahwa ayat Alquran ataupun Hadis yang membahas ayat mutasyabihat boleh dijelaskan, akan tetapi pada masalah yang tertentu ada keterbatasan akal yang tidak dapat menjelaskannya, dan hanya Allah yang mengetahui. 
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf dan khalaf memperdebatkan masalah ta’wil ayat Alquran atau Hadis yang membahas masalah sifat Allah, akan tetapi keduanya sama-sama sepakat tentang asal dari interpretasi tersebut, sehingga polemik antara mereka hanya sebatas pemahaman kaum khalaf yang menambah pembatasan arti ayat atau Hadis dengan penjelasan tetapi tetap menjaga aqidah, sehingga tidak perlu menjadi perdebatan yang panjang, karena hal tersebut untuk menjaga anggapan orang awam dari anggapan penyerupaan Dzat Allah.[17]



[1]Said al-Qathani dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.

[2]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 109.


[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.

[4]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006,  h. 9.
[5]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.

[6]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[7]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.

[8]Ibid., h. 36-37.

[9]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978, h. 64.

[10]Ibid., h. 65.


[11]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.

[12]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf…, h. 32.

[13]Ibid., h. 35.

[14]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 41.


[15]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 116.

[16]Ibid., h. 117.

[17]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf…, h. 38.
 
 
BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2.      Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk menafsirkan ayat atau Hadis tersebut.
3.      Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah, dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah perbedaan ijtihad, bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam permasalahan hukum Islam.
B.     Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang. 
Pembahasan dalam makalah ini adalah untuk dijadikan bahan renungan, sehingga penulis sangat berharap untuk menjadikannya bahan pemikiran bagi mereka yang mengkaji kajian Islam yang lebih mendalam, sekiranya pembahasan makalah ini tidak hanya terhenti sampai disini, akan tetapi dapat lagi dibahas secara spesifik dan mendalam.


 
DAFTAR PUSTAKA



Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa share ya... :D