BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat
universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia.
Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi
Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh karenanya
interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena
versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang
berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga
yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para
mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola
pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain
selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional
berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak
menginterpretasi ayat yang zhanni,
dan mereka lebih mengutamakan akal.[1]
Dari sekian beragam jenis
mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [2],
dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah
ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[3]
Terkait dengan masalah tersebut, dan karena materi mata kuliah yang diberikan
untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL
AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF).
B.
Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini,
maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf
dan Khalaf)?
2. Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3. Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan
masalah dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf
dan khalaf).
2. Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3. Nilai dari aliran salaf dan khalaf.
[1]Rosihon Anwar dan
Abdul Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II,
Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.
[2]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam
bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.
[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang
mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu
mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para
sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut
seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan
kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,[1] dalam
hal ini ada dua versi yaitu:
1.
Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh
para pakar mengenai salaf, seperti
menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf
artinya ulama terdahulu, karena salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang
terdiri atas muhaditsin dan yang lainnya,
sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf
adalah tidak berpaham tasybih
(anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil
dalam menafsirkan ayat mutasyabihat,
sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang
diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah
yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta
mengagungkan-Nya.[2]
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode
Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan
tertentu, dan para penganut paham salaf
tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas
maksudnya.[3]
Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan
Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh
kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna
menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas
tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal
tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[4]
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah
menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang
disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil
atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta
tidak ada tasybih atau penyerupaan
dengan makhluk.[5]
2.
Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad
III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang
interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada
pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[6]
Aliran khalaf terdiri dari dua versi,
yaitu sebagai berikut:[7]
a. Aliran yang lebih mengutamakan akal,
karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Tuhan, serta
mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal, paham ini identik dipegang oleh
aliran Mu’tazilah.
b. Aliran yang menempatkan akal sebagai
mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan wahyu saling mendukung kecuali dalam
beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu akal tidak cukup untuk
memahami wahyu karena keterbatasannya, paham ini identik dipegang oleh
Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran Asy’ariyah
dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai
banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah
mayoritas disebut dengan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah.[8]
Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari
pada tahun 300 Hijriah.[9]
Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[10]
B.
Perbedaan antara Salaf
dan Khalaf
Pokok utama yang menjadi perbedaan
antara aliran salaf dan aliran khalaf adalah permasalahan interpretasi
ayat Alquran ataupun Hadis nabi yang mutasyabihat
atau yang mengarah kepada penyerupaan (tasybih),
karena aliran khalaf menganggap
pantas untuk diinterpretasi ke arti yang lebih layak dengan kesucian Allah,
sedangkan menurut aliran salaf hal
tersebut merupakan sesuatu yang dilarang (bid’ah),
karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
maupun para tabi’in yang berpegang teguh dengan ajaran nabi Muhammad SAW.[11]
Kaum salaf berpendapat bahwa harus mengimani ayat Alquran atau Hadis
yang berkaitan dengan sifat Allah dengan apa adanya, adapun penjelasan tentang
tangan, wajah, bertempat, dan lain-lain dari Allah itu menurut mereka hanya
Allah yang tahu penjelasannya, karena hal tersebut tidak dapat diketahui oleh
manusia, dan umat Islam dilarang untuk berpikir tentang Allah.[12]
Sedangkan kaum khalaf berpendapat bahwa boleh memahami ayat Alquran atau Hadis
yang menjelaskan masalah sifat Allah, karena tidak harus secara literal atau
tekstual (secara harfiah), karena ayat atau Hadis tersebut adalah majaz atau
berupa kiasan sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan bukan bermaksud
untuk menyamakan Allah, seperti mereka menafsirkan Wajah Allah dengan Dzat-Nya.[13]
Aliran salaf juga ada 2 jenis, ada yang radikal dan ada yang moderat,
seperti imam Malik, imam Syafi’i, imam Hanafi, serta imam al-Tsauri yang
termasuk dari aliran salaf moderat,
dan imam Ahmad bin Hanbal merupakan tokoh aliran salaf yang radikal selain imam Daud Zahiri dan imam Ibn Hazm,
aliran salaf radikal dikembangkan
oleh imam Ibn Taimiyah serta kawan-kawannya.[14]
Ibn Taimiyah adalah seorang
tekstualis, pandangannya dianggap oleh imam Ahmad bin Hanbal serta al-Khatib
Ibn al-Jauzi sebagai pandangan tajsim
(anthropomorpisme) atau menyerupakan Allah dengan makhluk, oleh karenanya
al-Khatib Ibn al-Jauzi bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai seorang salaf perlu ditinjau kembali.[15]
Watt mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam
sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.[16]
C.
Nilai dari aliran Salaf dan Khalaf
Nilai-nilai yang dapat diambil dari
aliran salaf dan khalaf adalah aliran salaf
yang mempertahankan aqidah murni, dengan menjaga agar tidak melakukan hal yang
dilarang karena aliran salaf tidak
mau menafsirkan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang membahas masalah mutasyabihat, karena menurut mereka
menafsirkan hal tersebut adalah bid’ah
(hal yang dilarang ).Sedangkan aliran khalaf
menganggap bahwa ayat Alquran ataupun Hadis yang membahas ayat mutasyabihat boleh dijelaskan, akan
tetapi pada masalah yang tertentu ada keterbatasan akal yang tidak dapat
menjelaskannya, dan hanya Allah yang mengetahui.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf dan khalaf memperdebatkan masalah ta’wil
ayat Alquran atau Hadis yang membahas masalah sifat Allah, akan tetapi keduanya
sama-sama sepakat tentang asal dari interpretasi tersebut, sehingga polemik
antara mereka hanya sebatas pemahaman kaum khalaf
yang menambah pembatasan arti ayat atau Hadis dengan penjelasan tetapi tetap
menjaga aqidah, sehingga tidak perlu menjadi perdebatan yang panjang, karena
hal tersebut untuk menjaga anggapan orang awam dari anggapan penyerupaan Dzat
Allah.[17]
[1]Said al-Qathani dan
Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi
dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.
[2]Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2,
Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 109.
[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.
[4]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif
Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006,
h. 9.
[5]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.
[6]Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[7]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.
[8]Ibid., h. 36-37.
[9]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978, h. 64.
[10]Ibid., h. 65.
[11]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.
[12]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf…, h. 32.
[13]Ibid., h. 35.
[14]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 41.
[15]Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 116.
[16]Ibid., h. 117.
[17]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf…, h. 38.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah
secara murni, sedangkan versi khalaf
menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk
menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh
menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah
secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis
yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk menafsirkan
ayat atau Hadis tersebut.
3.
Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga
untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah,
dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat
disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf
dan salaf adalah perbedaan ijtihad,
bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan
ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam
permasalahan hukum Islam.
B.
Saran
Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi
Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala
hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga
motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang
ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya
dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah
sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang.
Pembahasan dalam makalah ini adalah untuk
dijadikan bahan renungan, sehingga penulis sangat berharap untuk menjadikannya
bahan pemikiran bagi mereka yang mengkaji kajian Islam yang lebih mendalam,
sekiranya pembahasan makalah ini tidak hanya terhenti sampai disini, akan
tetapi dapat lagi dibahas secara spesifik dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka
Setia, 2003.
Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran
Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan
II, Jakarta: UI Press, 1978.
Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul
asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf
wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul
Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir,
Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara
Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa share ya... :D