بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمدلله، والصّلاة والسّلام على رسول لله، سيّدنا
والنبيّنا محمد ابن عبدلله، وعلى آله وصحبه ومن الوّله، ومن تبع الهداه، إلى يوم
الخشرة والنّدامة، أمّا بعد.
Para ulama dan tokoh masyarakat, para guru yang kami
muliakan
Dewan hakim yang berbahagia
Hadirin yang mudah-mudahan
mendapatkan berkah dari Allah swt.
Hossein Nasr,
seorang pemikir Islam kontemporer, melihat bahwa masyarakat modern yang sering
diistilahkan sebagai the post industrial society, yaitu suatu masyarakat
yang telah mencapai tingkat kemakmuran material, dengan perangkat teknologi
yang serba mekanik dan otomatis, bukan semakin mendekati kebahagiaan hidup,
tetapi selalu dihantui oleh perasaan cemas dengan kemewahan hidup yang
dimiliki.
Kritikan tajam
tersebut, mengarah kepada realita kehidupan kita yang cenderung hipokrit atau
munafik, menjurus kepada kehidupan hedonistik, atau kehidupan yang dipenuhi
oleh buaian materi keduniaan, tidak terima kata kesusahan, jijik dengan
kemiskinan, rentan melakukan penipuan, ditambah anti kritikan, apalagi pesan
moral keagamaan, jika ini terjadi pada insan pemegang kebijakan, atau yang
berada di tampuk kepemimpinan, tentu bukan kesejahteraan rakyat yang didapatkan,
tetapi kerusakan berkelanjutan yang berkepanjangan.
Dalam lingkup
Negara kita Indonesia, potret masyarakat hedonistik ini telah menjamur di semua
kalangan tak terbatas jabatan atau profesi, hanya dibedakan oleh kuantitas
nilai yang tertanam dalam setiap individu, dibuktikan dengan banyaknya
tersangka korupsi, atau pelaku kriminal berdasi, sehingga krisis kepercayaan
semakin marak terjadi, tidak hanya pada ranah profesi atau batasan umur, tapi
sudah menembus wilayah ideologi. Pepatah arab mengatakan:
النّاس على الدّين ملوكهم
“Agama manusia
sangat bergantung pada agama penguasanya”
Agama Islam
sebagai sebuah sistem kepercayaan sekaligus sistem nilai, secara konsep
meletakkan nilai-nilai atau tatanan normatif kepada setiap insan yang meyakini
dalam ajarannya, tetapi secara praktek tidak banyak teraplikasi, sehingga
tujuan dan tuntunan agama Islam dalam pembentukkan karakter tidak dapat tercapai
sepenuhnya.
Minimnya nilai-nilai keagamaan yang tertanam pada
setiap pribadi, menjadi salah satu alasan banyaknya konflik di negeri ini,
seperti tidak dapat menemukan solusi, pada setiap permasalahan yang terjadi,
sehingga bukan mendapatkan pemecahan masalah inti, malah menambah problema yang
baru lagi, padahal masih banyak pekerjaan yang lebih berarti, tentunya lebih
bermanfaat bagi penduduk negeri, yang dulunya dibuai oleh janji-janji, karena meminta
kepercayaan untuk bisa menjadi seperti sekarang ini.
Berangkat dari
upaya perbaikan berkelanjutan, kami ingin memberikan sedikit masukan, bertujuan
bisa membentuk clean government and good government, untuk negeri ini di
masa depan, semoga bermanfaat untuk setiap kalangan, melalui kajian terhadap
ayat-ayat al-Qur'an, yang diuraikan dalam bentuk syarhil qur’an, yang berjudul:
MENATA KEMBALI MORAL ETIK BANGSA INDONESIA. Dengan merujuk kepada
al-Qur'an surah an-Nisa ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hadirin yang berbahagia…
Dalam tafsir Jalalain karangan imam
Jalaluddin as-Syuyuti dan imam Jalaluddin al-Mahaly, menjelaskan mengenai ayat
ini bahwa keharusan dalam menaati pemimpin adalah dalam urusan menaati Allah
dan rasul-Nya, jika terjadi kontroversi atau perselisihan pendapat hendaknya
mengembalikan kepada tuntunan al-Qur'an dan sunnah nabi, karena hal tersebut
lebih baik daripada berselisih pendapat dengan menggunakan argumentasi manusia
(menggunakan logika).
Ibn al-Hajar dalam kitabnya lubaabun nuqul
fii asbaabin nuzul menjelaskan, bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan
cerita tentang sekelompok pasukan perang yang diperintahkan pemimpinnya untuk
senantiasa menjerumuskan diri ke dalam api unggun, berkenaan dengan hal
tersebut ayat ini turun sebagai bantahan bahwa ketaatan kepada pemimpin harus
melewati proses filterisasi dan selektifitas, dengan pertimbangan asas manfaat,
serta melihat kebijakan yang mementingkan kepentingan rakyat. Dalam kajian uslubiyyah,
disebutkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat lafaz athi'u sebelum lafaz
Allah dan rasul, tetapi tidak ada lafaz athi’u sebelum kata ulil amri.
Konsepsi ketaatan terhadap pemimpin, taat
pada Allah, dan taat pada rasul-Nya, berdasarkan penjelasan tersebut merupakan
hal yang tidak dapat ditawar, tetapi ketaatan kepada pemimpin harus terlihat
sisi kebijakan yang diberikan, menggunakan perspektif berlandaskan asas
kebermanfaatan, sehingga kita harus bisa mentaati pemimpin yang mendukung
kesejahteraan rakyat, dan apabila sebaliknya, maka kita tinggalkan dan kita luruskan.
Imam al-Ghazali dalam nasihatnya kepada Nizam
al-Muluk dari Bani Seljuk menekankan kepada dua hal penting yaitu akidah dan
akhlak, karena menurutnya faktor utama yang harus kokoh pada diri seorang
pejabat Negara adalah al-tasawwur al-islamiy atau pandangan hidup Islam,
karena hal ini merupakan asas bagi setiap perilaku manusia. Demikian dituliskan
oleh Alparslan Acikgence dalam tulisannya berjudul The Framework for A
History of Islamic Philosophy.
Namun sayang hadirin, dalam Negara kita berasaskan
Pancasila yang mayoritas senada dengan ajaran Islam, masih belum mencerminkan
sepenuhnya pencapaian yang diharapkan tersebut, karena dua nilai penting dari
pesan imam al-Ghazali masih menjadi paradoks, kemudian mengacuhkan tuntunan
firman Allah pada saat terjadi kontroversi, padahal rasulullah saw bersabda:
تركت فيكم أمرين ما إن
تمسكتم بهما لن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة رسول
“Kutinggalkan pada kalian dua perkara (pusaka),
tidak akan tersesat kalian selamanya jika masih berpegang teguh pada keduanya,
yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.”
Hadirin yang berbahagia…
Menata kembali moral etik bangsa Indonesia dalam
jangka pendek, seyogyanya diawali dari penataan moral pemimpin, dengan mengisi
nilai keimanan dalam setiap perbuatan, dan dalam setiap keputusan, karena
pemimpin adalah panutan, kemudian diikuti penataan moral rakyat dalam jangka
panjang, agar bisa memunculkan generasi penerus yang terus membawa nilai
kebaikan.
Pada dasarnya uraian pembahasan kami membawa pesan dan
harapan, agar para pemimpin yang sekarang berada di kursi jabatan, dapat
mengaplikasikan nilai ajaran Islam seperti yang tertuang dalam firman Allah
surah al-Anbiyaa ayat 73:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan
hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,”
Hadirin yang berbahagia…
Semoga Indonesia selalu bertambah baik. Terima kasih
untuk segala perhatian, mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan, kami akhiri
dengan ucapan.
والسّلام
عليكم ورحمة الله و بركا ته
Penulis Naskah: Rafiqi Mahdi, S.Kom.I
Daftar Pustaka
-
Jirhanuddin, Menuju Tasawuf Dinamis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. (bahan baca)
-
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy,
Al-Shajarah, Journal of The Institute of Islamic Though and Civilization
(ISTAC) 1996, VOL.1 No 1 & 2
-
Jalaluddin as-Syuyuti dan Jalaluddin al-Mahaly, Tafsir Jalalain
-
Ibn al-Hajar, Lubaabun Nuqul Fii Asbaabin Nuzul
mohon izin mengcopy nya mas
BalasHapusIya silahkan bos....
HapusNanti bayar yaa
silahkan...smg manfaat
BalasHapusmohon izin copas yaa ustadzz
BalasHapussmga ilmunya lebih bermaafaat
Izin copas bos
BalasHapusIzin copy
BalasHapusijin copy
BalasHapus