Selasa, 08 Maret 2016

Naskah Syarhil Qur'an: MENATA KEMBALI MORAL ETIK BANGSA INDONESIA



بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمدلله، والصّلاة والسّلام على رسول لله، سيّدنا والنبيّنا محمد ابن عبدلله، وعلى آله وصحبه ومن الوّله، ومن تبع الهداه، إلى يوم الخشرة والنّدامة، أمّا بعد.
Para ulama dan tokoh masyarakat, para guru yang kami muliakan
Dewan hakim yang berbahagia
Hadirin yang mudah-mudahan mendapatkan berkah dari Allah swt.

Hossein Nasr, seorang pemikir Islam kontemporer, melihat bahwa masyarakat modern yang sering diistilahkan sebagai the post industrial society, yaitu suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran material, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomatis, bukan semakin mendekati kebahagiaan hidup, tetapi selalu dihantui oleh perasaan cemas dengan kemewahan hidup yang dimiliki.

Kritikan tajam tersebut, mengarah kepada realita kehidupan kita yang cenderung hipokrit atau munafik, menjurus kepada kehidupan hedonistik, atau kehidupan yang dipenuhi oleh buaian materi keduniaan, tidak terima kata kesusahan, jijik dengan kemiskinan, rentan melakukan penipuan, ditambah anti kritikan, apalagi pesan moral keagamaan, jika ini terjadi pada insan pemegang kebijakan, atau yang berada di tampuk kepemimpinan, tentu bukan kesejahteraan rakyat yang didapatkan, tetapi kerusakan berkelanjutan yang berkepanjangan.

Dalam lingkup Negara kita Indonesia, potret masyarakat hedonistik ini telah menjamur di semua kalangan tak terbatas jabatan atau profesi, hanya dibedakan oleh kuantitas nilai yang tertanam dalam setiap individu, dibuktikan dengan banyaknya tersangka korupsi, atau pelaku kriminal berdasi, sehingga krisis kepercayaan semakin marak terjadi, tidak hanya pada ranah profesi atau batasan umur, tapi sudah menembus wilayah ideologi. Pepatah arab mengatakan:
النّاس على الدّين ملوكهم
Agama manusia sangat bergantung pada agama penguasanya

Agama Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan sekaligus sistem nilai, secara konsep meletakkan nilai-nilai atau tatanan normatif kepada setiap insan yang meyakini dalam ajarannya, tetapi secara praktek tidak banyak teraplikasi, sehingga tujuan dan tuntunan agama Islam dalam pembentukkan karakter tidak dapat tercapai sepenuhnya.

Minimnya nilai-nilai keagamaan yang tertanam pada setiap pribadi, menjadi salah satu alasan banyaknya konflik di negeri ini, seperti tidak dapat menemukan solusi, pada setiap permasalahan yang terjadi, sehingga bukan mendapatkan pemecahan masalah inti, malah menambah problema yang baru lagi, padahal masih banyak pekerjaan yang lebih berarti, tentunya lebih bermanfaat bagi penduduk negeri, yang dulunya dibuai oleh janji-janji, karena meminta kepercayaan untuk bisa menjadi seperti sekarang ini.

Berangkat dari upaya perbaikan berkelanjutan, kami ingin memberikan sedikit masukan, bertujuan bisa membentuk clean government and good government, untuk negeri ini di masa depan, semoga bermanfaat untuk setiap kalangan, melalui kajian terhadap ayat-ayat al-Qur'an, yang diuraikan dalam bentuk syarhil qur’an, yang berjudul: MENATA KEMBALI MORAL ETIK BANGSA INDONESIA. Dengan merujuk kepada al-Qur'an surah an-Nisa ayat 59:


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hadirin yang berbahagia…

Dalam tafsir Jalalain karangan imam Jalaluddin as-Syuyuti dan imam Jalaluddin al-Mahaly, menjelaskan mengenai ayat ini bahwa keharusan dalam menaati pemimpin adalah dalam urusan menaati Allah dan rasul-Nya, jika terjadi kontroversi atau perselisihan pendapat hendaknya mengembalikan kepada tuntunan al-Qur'an dan sunnah nabi, karena hal tersebut lebih baik daripada berselisih pendapat dengan menggunakan argumentasi manusia (menggunakan logika).

Ibn al-Hajar dalam kitabnya lubaabun nuqul fii asbaabin nuzul menjelaskan, bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan cerita tentang sekelompok pasukan perang yang diperintahkan pemimpinnya untuk senantiasa menjerumuskan diri ke dalam api unggun, berkenaan dengan hal tersebut ayat ini turun sebagai bantahan bahwa ketaatan kepada pemimpin harus melewati proses filterisasi dan selektifitas, dengan pertimbangan asas manfaat, serta melihat kebijakan yang mementingkan kepentingan rakyat. Dalam kajian uslubiyyah, disebutkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat lafaz athi'u sebelum lafaz Allah dan rasul, tetapi tidak ada lafaz athi’u sebelum kata ulil amri.

Konsepsi ketaatan terhadap pemimpin, taat pada Allah, dan taat pada rasul-Nya, berdasarkan penjelasan tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar, tetapi ketaatan kepada pemimpin harus terlihat sisi kebijakan yang diberikan, menggunakan perspektif berlandaskan asas kebermanfaatan, sehingga kita harus bisa mentaati pemimpin yang mendukung kesejahteraan rakyat, dan apabila sebaliknya, maka kita tinggalkan dan kita luruskan.

Imam al-Ghazali dalam nasihatnya kepada Nizam al-Muluk dari Bani Seljuk menekankan kepada dua hal penting yaitu akidah dan akhlak, karena menurutnya faktor utama yang harus kokoh pada diri seorang pejabat Negara adalah al-tasawwur al-islamiy atau pandangan hidup Islam, karena hal ini merupakan asas bagi setiap perilaku manusia. Demikian dituliskan oleh Alparslan Acikgence dalam tulisannya berjudul The Framework for A History of Islamic Philosophy.

Namun sayang hadirin, dalam Negara kita berasaskan Pancasila yang mayoritas senada dengan ajaran Islam, masih belum mencerminkan sepenuhnya pencapaian yang diharapkan tersebut, karena dua nilai penting dari pesan imam al-Ghazali masih menjadi paradoks, kemudian mengacuhkan tuntunan firman Allah pada saat terjadi kontroversi, padahal rasulullah saw bersabda:
تركت فيكم أمرين ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة رسول
Kutinggalkan pada kalian dua perkara (pusaka), tidak akan tersesat kalian selamanya jika masih berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.”

Hadirin yang berbahagia…

Menata kembali moral etik bangsa Indonesia dalam jangka pendek, seyogyanya diawali dari penataan moral pemimpin, dengan mengisi nilai keimanan dalam setiap perbuatan, dan dalam setiap keputusan, karena pemimpin adalah panutan, kemudian diikuti penataan moral rakyat dalam jangka panjang, agar bisa memunculkan generasi penerus yang terus membawa nilai kebaikan.

Pada dasarnya uraian pembahasan kami membawa pesan dan harapan, agar para pemimpin yang sekarang berada di kursi jabatan, dapat mengaplikasikan nilai ajaran Islam seperti yang tertuang dalam firman Allah surah al-Anbiyaa ayat 73: 

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,”

Hadirin yang berbahagia…

Semoga Indonesia selalu bertambah baik. Terima kasih untuk segala perhatian, mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan, kami akhiri dengan ucapan.

والسّلام عليكم ورحمة الله و بركا ته






Penulis Naskah: Rafiqi Mahdi, S.Kom.I

Daftar Pustaka
-          Jirhanuddin, Menuju Tasawuf Dinamis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. (bahan baca)
-          Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996, VOL.1 No 1 & 2
-          Jalaluddin as-Syuyuti dan Jalaluddin al-Mahaly, Tafsir Jalalain
-          Ibn al-Hajar, Lubaabun Nuqul Fii Asbaabin Nuzul

7 komentar:

Jangan lupa share ya... :D