Selasa, 08 Maret 2016

Naskah Syarhil Qur'an: KELUARGA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK BANGSA



بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمدلله ربّ العالمين، والصّلاة والسّلام على اسراف الأنبياء والمرسلين، سيّدنا ونبيّنا محمّد، وعلى آله وأصحابه أجمعين، أمّابعد.
Para ulama dan tokoh masyarakat yang kami muliakan,
Dewan hakim yang kami hormati,
Bapak ibu pengunjung yang dimuliakan Allah.

Dalam mukadimah Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh PBB, tanggal 20 November 1989, menimbang bahwa seorang anak sepenuhnya harus dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai pribadi dalam suatu masyarakat, sehingga harus dibesarkan dalam semangat cita-cita yang telah diproklamirkan pada piagam PBB. Maksudnya hadirin, setiap bangsa telah menaruh perhatian intens terhadap anak dan pendidikannya, karena pembahasan mengenai anak merupakan problematika urgen dan harus menjadi prioritas.

Pendidikan anak telah menjadi topik diskusi para pemikir Islam beberapa abad silam, seperti al-Ghazali, al-Qabisi, Ibnu Sina, dan lainnya, juga menjadi diskusi para pakar pendidikan Barat seperti John Amos Comenius, Jean Jacques Rousseau, dan pakar-pakar lainnya yang meskipun berbeda pola pikir, tetapi memiliki kesamaan dalam perhatian mereka terhadap anak.

Mengapa demikian? Karena persoalan moralitas adalah problema yang selalu up to date tak lekang oleh waktu, tak lapuk oleh zaman, dan persoalan perilaku adalah komponen yang tidak lepas dari generasi penerus. Tetapi hadirin, dekadensi moral telah menembus dinding usia ataupun kasta, sehingga bukan hanya anak-anak yang tidak beradab, orang tua pun tidak sedikit yang tidak beradab, tidak hanya generasi muda yang suka melanggar norma, orang dewasa pun sering tak punya tata karma, sehingga hadirin, kemerosotan akhlak telah meracuni kaum muda, kaum tua, tak peduli pria atau wanita, tak mengenal miskin ataupun kaya. 

Berbicara mengenai akhlak sebagai popular philosophy of morality, seakan seperti trending topic yang tak pernah kunjung habis di kalangan akademisi, kalangan ilmuwan, kalangan juru dakwah, kalangan ulama, kalangan orang tua, maupun kalangan masyarakat secara luas. Mengapa demikian? Karena kajian mengenai perilaku adalah pembahasan tentang kaidah kehidupan manusia, tentang aturan yang harus dijalani, dan pedoman yang harus ditaati. Problematika perilaku manusia seperti tidak kunjung habis, karena tidak sedikit orang kehilangan pikiran logis, di depan berwajah manis, tapi hatinya dipenuhi hasrat iblis, sehingga tidak ragu berbuat bengis, hatinya tertawa walaupun matanya menangis.

Oleh karena itu hadirin, fenomena demoralisasi kronis yang telah banyak terjadi di negeri ini, menimbulkan kegelisahan akademik kami, untuk bisa memberikan kontribusi yang berarti, sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa ini, untuk memberikan konsep solutif-konstruktif terkini, melalui syarhil qur’an kami, yang berjudul: KELUARGA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK BANGSA. Dengan merujuk pada ayat al-Qur'an surah at-Tahrim ayat 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Hadirin yang dimuliakan Allah…
Secara implisit Doktor Muhammad Sulaiman al-Asqori dalam Zubdat al-Tafsir min Fath al-Qadir menjelaskan bahwa, conclusi dari ayat tersebut adalah menjaga istri agar menjadi shalihah, yang pandai menjaga diri, menjaga kehormatannya, menjaga rumah tangganya, menjaga harta suaminya. Tapi tak kalah penting nilainya adalah, dia pandai menjaga, membina serta mendidik anak-anaknya. Quraish Shihab menambahkan bahwa pendidikan harus diawali dari rumah, orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya, dan pasangan suami isteri bertanggung jawab terhadap perilaku masing-masing.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, seorang anak tumbuh berdasarkan intensitas perhatian orang tuanya, karena orang tua dan anak merupakan satu ikatan dalam jiwa, meski berpisah raga, jiwa keduanya menjadi satu dalam ikatan, dan ikatan ini ada dalam bentuk hubungan emosional dan tercermin dalam perilaku anak, demikian dituliskan oleh Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. (halaman 27).

Dapat dipahami, bahwa maksud dari firman Allah dalam surah at-Tahrim ayat 6 tersebut menegaskan kepada setiap individu muslim, untuk menjaga diri dan keluarganya terlebih pada aspek pendidikan kepada isteri maupun anak-anaknya, seorang ayah yang mampu memberikan akulturasi agama kepada isteri dan anaknya, dan seorang ibu yang pandai dalam mendidik anak-anaknya. Secara konseptual, yang terpenting dalam pendidikan terhadap anak adalah pendidikan agama dan akhlak.

Dalam konteks ini, setiap orang tua tidak hanya memiliki kewajiban untuk menumbuhkan anak secara fisik, tetapi juga memiliki kewajiban mendidik anak-anaknya, terutama dalam memberikan nilai agama dan akhlak, karena nilai pendidikan inilah yang menjadi pedoman dasar seorang anak dalam menjalani kehidupannya, sehingga seorang anak memerlukan bimbingan, pengarahan dan pengawasan dalam menuju kedewasaan. Oleh karenanya hadirin, pendidikan anak harus dipandang sebagai paramount of importance atau sebagai prioritas pertama dan utama.

Setiap orang tua yang memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya, secara tidak langsung merupakan tindakan nasionalisme dan bentuk upaya pembebasan krisis moral yang berkepanjangan, layaknya pengorbanan para pejuang dalam merebut kemerdekaan, karena dalam konteks kekinian, kita sedang terjajah sejak dalam pikiran, tertindas secara kejiwaan.

Bangsa Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki kesantunan, identik dengan budaya ketimuran, tapi sekarang, para politikus dipenuhi sandiwara dan pencitraan, pelacuran hampir dihalalkan, ulama yang gemar keduniaan, para pelajar yang sering tawuran, para pedagang yang senang melakukan penipuan, bahkan lembaga hukum tidak lagi dapat diberikan kepercayaan, karena kepentingan pribadi dan golongan yang paling dikedepankan, tak peduli rakyat kebingungan, tidak tahu yang mana musuh yang mana korban, tidak mengerti antara kejujuran dan kebohongan.

Proses perbaikan hanya bisa terjadi jika saya, anda, dan kita semua, mau menerapkan revolusi mental sesungguhnya, mendidik diri sendiri dengan baik agar bisa mendidik keluarga kita, mengembalikan fitrah kita sebagai manusia biasa, serta mau merefleksikan setiap ajaran agama dalam diri kita, keluarga kita, kerabat kita, orang-orang terdekat kita, dengan merenungkan firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 78:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Hadirin yang dimuliakan Allah…
Jalaluddin as-Syuyuti dan Jalaluddin al-Mahaly dalam tafsir Jalalain menjelaskan bahwa jumlah kalimat laa ta’lamuuna syai’an berkedudukan menjadi hal (keadaan) atau kalimat keterangan, dan lafaz as sam’a bermakna jamak sekalipun kalimatnya mufrad. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seluruh indera (penglihatan, pendengaran, dan hati) adalah agar manusia bersyukur sehingga mau beriman. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menambahkan, bahwa pengetahuan manusia diperoleh melalui upaya manusiawi atau pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan moral bangsa.

Terakhir mengutip hadis Nabi saw yang ditulis oleh ‘Alauddin Ali al-Muttaqi dalam kitabnya:
من حقّ الولد على الوالد أن يحسن أسمه ويحسن أدبه (رواه إبن النجار)
Salah satu kewajiban orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik dan perbaikan tata karma.” (HR. Ibn Nujjar)

Pada akhirnya kami menitipkan pesan 4 M sebagai berikut:
1.      Mari membina keluarga harmonis, karena harmonisasi kondusif membantu efektifitas pembinaan psikologis anak.
2.      Mari mendidik moral anak sedini mungkin, karena keluarga adalah sekolah pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak.
3.      Mari membangun bangsa melalui pembinaan generasi, karena revolusi mental sesungguhnya adalah implementasi nilai-nilai agama pada diri, keluarga, kerabat, terlebih lagi masyarakat.
4.      Mari bersama kita berdo’a, semoga kita semua menjadi insan beriman, jujur dalam perkataan, lembut pada perbuatan, pandai menjaga kehormatan, berguna di masa depan.

والسّلام عليكم ورحمة الله و بركا ته


Daftar Pustaka
-          Muhammad Sulaiman al-Asqori, Zubdat al-Tafsir min Fath al-Qadir
-          Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga
-          Jalaluddin as-Syuyuti dan Jalaluddin al-Mahaly, tafsir Jalalain
-          Ajat Sudrajat, Pendidikan Moral dalam Islam (bahan baca)
-          Quraish Shihab, Tafsir al-Mişbāh, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
-    ‘Alauddin Ali al-Muttaqi, Kanzul Ummal fi Sunanil Aqwal wal Af’al

9 komentar:

Jangan lupa share ya... :D