Senin, 23 Februari 2015

Naskah Syarhil Qur'an: MEREKONSTRUKSI MORAL BANGSA DENGAN MEMBERANTAS KORUPSI



MEREKONSTRUKSI MORAL BANGSA DENGAN MEMBERANTAS KORUPSI

Sebuah ungkapan, tangis bayi  yang baru lahir di Indonesia lebih kencang dibanding bayi-bayi di Negara lain, karena begitu dia lahir dari perut ibunya langsung menanggung hutang minimal Rp. 8,3 juta. Mengapa demikian? Bukankah Negara kita subur dan kaya dengan sumber daya alam? Semua itu tak lain karena salah urus, semua kekayaan alam dikuras bukan untuk kemakmuran rakyat, tapi untuk dikorupsi.
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia merupakan praktik yang sistemik dan ’membudaya’. Lihat saja, ketika ada urusan di kantor-kantor, kita akan dibuat jengkel dan kesal karena harus menunggu dan menunggu. Urusan akan lancar kalau kita mau ’nyelipkan amplop’ dari meja ke meja. Hal itu dianggap suatu kelaziman di lingkungan birokrasi kita. Dan anehnya masyarakat juga menerima. Bukan hanya di kantor, untuk meraih jabatan politik seperti  jadi DPR, DPRD, Kepala Daerah, selalu  diwarnai dengan money politik, meskipun sulit dibuktikan di pengadilan. Kitapun mendengar,  jutaan hektar hutan yang ditebang secara illegal, triliunan uang negara ditilep dalam BLBI, diperparah dengan kasus Century, pajak dirampas oleh Gayus-gayus, proyek rekayasa hambalang, belum lagi anggaran negara di mark-up setiap tahun di berbagai instansi.



Persoalannya, bagaimana Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, kok bisa sampai demikian? Atas dasar ini perkenankan kami menyampaikan Syarahan al-Qur’an dengan judul Merekonstruksi Moral Bangsa dengan Memberantas Korupsi”. Sebelum lebih jauh membahas judul ini marilah kita simak ayat al-Qur’an surah al-Anfal ayat 27:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Hadirin-hadirat yang berbahagia
Pada ayat tersebut, kata takhunu diulang sebanyak 2 kali. Pertama la takhunullah war-rasul dan kedua takhunu amanaatikum. Pengulangan ini bermakna at-tanbih, yakni pentingnya persoalan khiyanah terhadap amanah sama besarnya dengan khiyanah kepada Allah dan Rasul. Mengenai larangan terhadap amanah dalam ayat ini, menurut Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur, mencakup persoalan penggelapan (korupsi, al-ghulul) dalam masalah rampasan perang (فتشمل الغــلول الذى حـاموا حـولـه فى قضــية الأنفــال).
Dalam ayat ini Allah SWT melarang kita mengkhiyanati amanah. Dan persoalan amanah merupakan persoalan besar, karena ketika seseorang diserahi kepercayaan jabatan dan kekuasaan memimpin suatu lembaga, atau diberi kekuasaan menduduki jabatan-jabatan publik, berarti bertanggungjawab dalam hal keberhasilan  urusan atau nasib orang banyak tersebut. Thahir Ibn 'Asyur dalam Tafsirnya at-Tahrir wat-Tanwir mengatakan :
وحسـبك من رفع شــأن الأمـانة أن كان صاحــبها حقـيقا بولاية أمر المســلمين لأن ولايـة أمر المســلمين أمـانة لهم
Dan jelaslah bahwa persoalan amanah merupakan persoalan besar, karena pengemban amanah berari ditangannyalah keberhasilan urusan umat. Sebuah jabatan tidak bisa dilihat dari status dan fasilitasnya, tapi lihatlah dari kewajiban dan tanggung jawabnya.
Hadirin, yang dimuliakan Allah
Kita tentu sangat prihatin, bahwa cita-cita masyarakat adil makmur masih jauh. Hingga kini Indonesia masih berada dalam lilitan masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Salah satu pangkal persoalan, adalah karena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang semakin tak bisa dibiarkan. Menurut Lembaga Internasional Transparancy, sejak sepuluh tahun terakhir Indonesia menduduki rangking tiga teratas dalam korupsi, mengungguli negara-negara yang paling miskin seperti Ethiopia, Senegal dan Zambia.
Sayed Husein Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiny of Asia, kita telah berada pada tahap ketiga, yaitu korupsi sudah dianggap praktik yang amat menarik sehingga merusak struktur dan nilai masyarakat. Pada tahap seperti itu, persoalannya adalah bagaimana memberantas KKN?
Ada 3 langkah strategis yang ingin kami tawarkan, yaitu :
Pertama, pemberantasan melalui prosedur hukum dan politik tetap harus terus ditegakkan. Aparat hukum harus berani menegakkan supremasi hukum.
Kedua, adalah merekontruksi budaya di masyarakat. Dengan cara pertama, kita harus mengubah budaya yang selama ini dengan mudah mentolerir dan memaafkan penyimpangan dan kejahatan, termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Persoalan ini menyangkut cara pandang, perilaku masyarakat. Kritik yang pernah dilontarkan Mockhtar Lubis bahwa bangsa Indonesia bersikap feodal, hipokrit atau munafik serta suka menempuh jalan pintas untuk meraih sesuatu. Juga pandangan Gunnard Myrdal bahwa kita adalah bangsa yang lunak, lembek atau soft state yang kurang disipilin, kurang peka terhadap penyimpangan dan lemah dalam menegakkan supremasi hukum. Kini, untuk merubah budaya tersebut perlu dibangun pemahaman dan pengamalan agama yang benar dan substantif serta pelaksanaan ajaran amar ma'ruf nahi munkar secara konsekuen. Cara kedua, mengubah budaya konsumerisme yang melanda masyarakat kita. Bukankah korupsi berawal dari nafsu keserakahan manusia yang tak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Gaji dan tunjangan puluhan juta masih minta dilipatganda. Sudah punya rumah, ingin punya villa. Sudah punya mobil satu, minta tambah jadi dua. Sudah punya isteri satu?... itulah sifat manusia yang tak pernah puas dengan apa yang ada. Padahal Allah SWT telah mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana. Sebagaimana dalam QS.Al Isra 29-30:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Untuk merekontruksi budaya itu diperlukan langkah ketiga, yaitu membenahi kepemimpinan. Konsep tentang kepemimpinan perlu ada definisi ulang.  Dalam Islam, istilah al-imamah, al-imarah atau khalifah, pada dasarnya adalah ta'diyatul-amanah ila ahliha atau menunaikan amanah kepada yang berhak. Pemimpin harus benar – benar menunaikan amanah yang diemban dan dipertanggung-jawabkan kepada rakyat sekaligus kepada Allah SWT. Karena itu, pemimpin harus berlaku adil dalam mengemban amanah, tidak boleh bersikap aji mumpung sebagai god father yang serba kebal hukum dan can do anything no wrong. Perilaku pemimpin yang saling asah, asih dan asuh, yang benar-benar mengayomi, bisa menjadi contoh teladan bagi bawahan dan rakyat. Kita berharap para pemimpin bisa berlaku adil, disiplin, taat hukum, merakyat dan sederhana.  
Hadirin-hadirat .........
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan :
1.      Kondisi bangsa kita masih dililit berbagai persoalan besar yang salah satu penyebabnya adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih terus merajalela.
2.      Keberagamaan yang benar dan substantif, yang menerapkan amar ma’ruf nahi munkar dengan tegas, serta menanamkan pola hidup sederhana mempunyai peran strategis untuk membagun budaya baru yang bebas KKN.
3.      Dengan menerapkan kepemimpinan sesuai dengan konsep al-Qur'an insya Allah akan mampu diwujudkan sistem sosial-budaya yang bebas KKN.
Demikian syarahan kami semoga bermanfaat,
أوصيــكم ونفسي بتقو الله، والســلام عليكم ورحمــة وبركــاته


0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa share ya... :D